SANGIRAN - PATIAYAM
PERBANDINGAN KARAKTER
DUA SITUS PLESTOSEN DI JAWA
Sofwan Noerwidi dan
Siswanto
BALAI ARKEOLOGI YOGYAKARTA
PENDAHULUAN
Penelitian tentang asal usul manusia di
Indonesia telah dimulai sejak Eugene Dubois menemukan fosil atap tengkorak dan
tulang paha kiri Pithecantropus
erectus (Homo erectus erectus) pada pada endapan vulkanik jajaran Pegunungan
Kendeng di Trinil tahun 1891 (Widianto, 2006). Hingga kini penelitian mengenai
hal tersebut telah banyak mengalami kemajuan. Berdasarkan bukti
paleoantropologi, populasi makhluk manusia yang pertama kali mendiami kawasan
Indonesia adalah Homo erectus. Mereka bermigrasi dari Afrika sampai di
Kepulauan Indonesia pada Kala Plestosen Bawah sekitar 1,7 Juta tahun yang lalu
(Sémah, 2000). Manusia jenis tersebut diperkirakan berevolusi menjadi bentuk
yang progresif, yaitu Pithecanthropus (Homo erectus)
soloensis atau Solo Man, tetapi kemudian mengalami
kepunahan pada Kala Plestosen akhir sekitar 40.000 BP bersamaan dengan kurun
awal kemunculan Homo sapiens (Bellwood, 1975).
Sejak penemuan fosil yang legendaris di Trinil
dan penemuan Situs Sangiran oleh GHR von Koenigswald tahun 1934, situs-situs
Plestosen terus bermunculan di Indonesia khususnya di Jawa seiring dengan
giatnya perhatian pada bidang tersebut. Distribusi sebagian besar situs-situs
tersebut menempati sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo, mulai dari Sangiran,
Miri, Sambungmacan, Trinil, Ngawi, Ngandong, Kedungbrubus dan Perning. Selain itu,
lokasi penemuan terbaru yang cukup signifikan adalah Situs Semedo yang telah
mulai diteliti oleh Balai Arkeologi Yogyakarta sejak tahun 2005. Di antara
distribusi persebaran lokasi situs-situs tersebut, Situs Patiayam menempati
lokasi yang cenderung termarjinalkan secara geografis. Hal ini disebabkan
karena paling tidak baru sejak abad XVII M, Pulau Gunung Muria -lokasi Situs
Patiayam berada- benar-benar menyatu dengan daratan utama Pulau Jawa. Sejak
awal Kala Plestosen Tengah sekitar 650 Kya, Pulau Patiayam setidaknya 12 kali
berpisah dari daratan utama Pulau Jawa karena siklus proses
glasial-interglasial. Di lain pihak, sejak masa yang sama Situs Sangiran yang menjadi semacam ibu kota
manusia purba di Indonesia, telah benar-benar menjadi dataran kering dan
menjadi bagian dari daratan utama Pulau Jawa.
Berdasarkan pada perbedaan lingkungan purba Situs
Sangiran dan Patiayam tersebut, maka tulisan ini ditujukan untuk membandingkan
karakter kedua situs tersebut. Karakter yang dikomparasikan merupakan data temuan
dari kedua situs, yang meliputi aspek paleontologi, paleoantropologi dan
arkeologi. Nilai penting dan besarnya potensi Situs Sangiran yang telah diakui
oleh dunia, serta banyaknya penelitian dari beragam sudut pandang keilmuan di
situs tersebut, sangat berguna untuk mencari peluang yang signifikan bagi
penelitian di masa yang akan datang, khususnya bagi perkembangan penelitian di
Situs patiayam.
Peta Distribusi Situs-situs Plestosen di Jawa, dan
Patiayam yang Seolah-olah Menyendiri
Sangiran merupakan sebuah
situs manusia purba terpenting di Indonesia, bahkan terkemuka di dunia karena
termasuk salah satu dari sedikit situs hominid dunia. Situs ini memiliki luas
56 km² terletak sekitar 15 kilometer sebelah utara Surakarta, yang secara
administratif Sangiran terletak di Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar,
Jawa Tengah.
Besarnya potensi kandungan
Situs Sangiran yang sangat signifikan bagi pemahaman evolusi manusia,
lingkungan, dan budayanya selama 2 juta tahun tanpa terputus, maka situs ini
pada tahun 1977 ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia sebagai cagar budaya dan bahkan pada tahun 1996
mendapatkan pengakuan dunia sebagai situs yang terdaftar dalam World Heritage List UNESCO dengan nomor 593 (Drajat, 2001).
Situs Sangiran berada pada
bentang Solo Depression yang dibatasi oleh Gunung Lawu di timur dan
Gunung Merapi-Merbabu di barat, serta Pegunungan Kendeng di utara dan
Pegunungan Sewu di selatan. Situs ini merupakan sebuah kubah yang dinamakan Kubah Sangiran. Secara geomorfologis, kubah ini terbentuk oleh
proses pengangkatan akibat tenaga endogen dan kemudian bagian puncak kubah
terbuka melalui proses erosi, sehingga membentuk cekungan besar di pusat kubah
yang diwarnai oleh perbukitan bergelombang. Pada cekungan itulah dapat
ditemukan lapisan tanah yang mengandung informasi tentang kehidupan di masa
lampau, ditinjau dari aspek paleoantropologis, paleontologis, geologis maupun
arkeologis. (Widianto dan Simanjuntak, 2009)
Di Situs Sangiran terekam
rangkaian lapisan litologi yang lengkap serta berkelanjutan mulai sejak akhir
Kala Pliosen Atas hingga laipsan resen. Mulai dari formasi Kalibeng yang tertua
berumur sekitar 2,4-1,8 Juta tahun berupa lempung biru dari lingkungan laut dalam.
Diatasnya adalah formasi Pucangan yang berasal dari Kala Plestosen Bawah
berumur 1,8-0,73 Juta tahun berupa lahar serta endapan lempung hitam berfasies
vulkanik dan rawa. Disusul oleh formasi kabuh yang berasal dari Kala Plestosen
Tengah berumur 0,73-0,20 Juta tahun berupa endapan pasir fluvio-volkanik yang
mencerminkan lingkungan daratan. Setelah itu adalah forasi Notopuro yang
berasal dari Kala Plestosen Akhir berumur 0,25-0,12 Juta tahun berupa lahar dan
pasir-gravel fluvio-volkanik. Di bagian paling atas Situs Sangiran berupa
endapan resen alluvial Kali Cemoro, Brangkal dan Pohjajar (Simanjuntak, 2005).
Berjarak sekitar 70 Km ke
arah utara dari Situs Sangiran, terdapat Situs Patiayam yang secara
administratif berada pada wilayah Kabupaten Kudus dan Kabupaten Pati, Jawa
Tengah. Situs ini merupakan sebuah kubah yang terletak di lereng selatan Gunung
Muria. Situs Patiayam secara fisiografis termasuk Zona Gunung Api Kwarter dan
Zona Dataran Alluvium Jawa Utara. Oleh karena itu bentang alam daerah ini merupakan
daerh perbukitan dan daerah dataran. Menurut Sartono (1978) berdasarkan
morfologinya diindikasikan ada 4 satuan morfologi yaitu perbukitan bergelombang, perbukitan landai,
kubah, dan dataran. Pada masa lampau Gunung Muria beserta Kubah Patiayam yang
terletak di lereng selatannya bergabung dengan daratan utama Pulau Jawa hanya
terjadi pada masa Glasial, ketika terjadi perluasan pembekuan es di kutub,
sehingga menyebabkan air laut surut hingga 120 meter dari kondisi permukaan
sekarang. Pada kondisi tersebut terjadi migrasi hewan dan manusia ke Pulau
Gunung Muria. Pada masa Inter-Glasial ketika suhu bumi menghangat sehingga
menyebabkan terjadinya pencairan es besar-besaran, Gunung Muria terisolir dari
Pulau Jawa dan terpisahkan oleh laut dangkal yang meskipun tidak terlalu lebar.
Bergabungnya Gunung Muria secara permanen dengan Pulau Jawa –disebut fenomena Tombolo- baru terjadi pada sekitar abad XVII M, yang
disebabkan oleh pelumpuran, pendangkalan dan perkembangan dataran alluvial di
sepanjang pantai utara Pulau Jawa.
Peta Geologi Situs Patiayam
Kubah Patiayam ditinjau berdasarkan sifat batuannya,
menurut Sartono (1978) tidak jauh berbeda dengan Kubah Sangiran, berdasarkan
pada pengamatan satuan litologis dan temuan fosil vertebratanya. Daerah
Patiayam secara stratigrafis memiliki enam litologi utama yang merupakan produk
sedimentasi maupun hasil aktivitas vulkanik Gunung Muria (Setiawan, 2001).
Berturut-turut dari yang paling tua adalah Formasi Jambe berupa batu lempung
biru yang mengandung moluska dan foraminifera dari lingkungan laut dangkal, dan
berumur antara Miosen Atas – Pliosen Bawah. Kemudian Formasi Kancilan berupa
batuan breksi laharik dari lingkungan darat dan berumur Plestosen Awal sekitar
1,5 Juta tahun. Di atasnya adalah Formasi Slumprit berupa batu pasir tufaan
yang mengandung fosil vertebrata dan moluska air tawar, sehingga
diintepretasikan sebagai endapan darat sampai sungai, dan berumur Plestosen
Tengah sekitar 0,7 Juta tahun. Selanjutnya Formasi Kedungmojo berupa batu tufa
yang juga mengandung fosil vertebrata dan moluska air tawar pada sisipan breksi
dan konglomeratnya, sehingga diintepretasikan sebagai endapan darat sampai
sungai, dan berumur Akhir Plestosen Tengah sekitar 0,5 Juta tahun. Formasi
Sukobubuk berupa batuan aglomerat hasil aktifitas vulkanik Gunung Muria, yang
berumur Plestosen Atas sekitar 0,2 Juta tahun. Sama seperti Sangiran, litologi
di bagian atas Patiayam juga terdapat endapan alluvial sungai yang dihasilkan
oleh Sungai Kancilan dan Sungai Ampo (Siswanto, 2007).
Temuan fosil-fosil fauna di Situs Patiayam pada
umumnya terdapat di daerah bentang lahan perbukitan landai, dengan litologi
batuan Formasi Slumprit berupa batupasir tufaan (Sartono, ). Stratigrafi
Formasi Slumprit dicirikan oleh tufa dan konglomeratan dengan struktur sedimen
silang-siur menyerupai dengan Formasi Kabuh di Sangiran. Kesamaan tersebut
tidak hanya terjadi pada karakter stratigrafinya tetapi juga pada kesamaaan
morfologinya. Kedua formasi tersebut terbentuk pada Kala Pleistosen melalui
pengangkatan tanah dan bersamaan dengan aktifitas vulkanik sehingga
mengakibatkan penonjolan pada daerah tersebut (Simanjuntak, 1983).
Kesebandingan kedua formasi tersebut dapat dijadikan pedoman dalam penelitian
paleontologis dan jejak-jejak kehidupan manusia purba, karena pada Formasi
Kabuh merupakan deposit temuan jejak kehidupan purba yang terlengkap di
Sangiran.
BEBERAPA PERBANDINGAN
A. Paleontologi
Kekayaan jejak paleontologi Pulau Jawa mulai
terungkap sejak tahun 1931 ketika van Es melakukan penelitian di Sangiran.
Sebagian besar fosil ditemukan pada lapisan Plestosen, yang terdiri dari fauna
mamalia (kebanyakan herbifora), dan juga reptilia. Fosil gigi buaya merupakan
jejak vertebrata tertua di Sangiran yang berasal dari formasi Pucangan (van Es,
1931). Lapisan ini tidak terlalu kaya akan fosil seperti lapisan Kabuh di
atasnya, karena lingkungan pengendapannya tidak kondusif untuk preservasi fosil
dengan baik (Sémah AM. et al., 1993). Lapisan Grenzbank yang berada ditengahnya
merupakan campuran antara komponen laut dan fragmen materi hasil erosi dari
pegunungan disekitarnya. Karakter fosil tulang mamalia yang berada pada lapisan
ini ditemukan dalam kondisi tertutup material konkresi. (Sémah F. et al.,
2002).
Leinders et al. (1985) dalam Bouteaux
(2005) mengkorelasikan biozone dengan stratigrafi Sangiran yang menempatkan
situs tersebut dalam empat biostratigrafi yaitu fauna Satir, Cisaat, Trinil H.K
dan Kedungbrubus. Fauna Satir yang berumur 2-1,5 Mya berada di bagian tengah
formasi Pucangan. Fauna Cisaat yang berumur 1-1,2 Mya berada di bagian atas
formasi Pucangan dan di bawah Grenzbank. Fauna Trinil H.K yang berumur 0,9-1
Mya adalah bagian bawah formasi Kabuh, termasuk Grenzbank, sedangkan fauna
Kedungbrubus yang berumur 0,7-0,8 Mya adalah bagian atas formasi Kabuh (van den
Bergh et al., 2001).
Bersama dengan data palinologi, sisa-sisa fauna
sangat signifikan bagi rekonstruksi lingkungan purba di Sangiran. Berdasarkan
hasil penelitian Bouteaux (2005) mengenai paleontologi kubah Sangiran pada
Plestosen Tengah, dapat diketahui kondisi lingkungan purba pada masa tersebut.
Jejak fauna dari Tanjung, Grogol, Bukuran, Ngrejeng dan Sendangbusik
mengindikasikan bahwa dalam kronologi masa pembentukan formasi Kabuh, manusia
purba tinggal di lingkungan hutan terbuka (savana) yang dekat dengan sumber air
(sungai) yang cukup besar. Fauna Bukuran merepresentasikan lingkungan air,
fauna Grogol-Tanjung 82 dan Ngrajeng-Sendangbusik merepresentasikan lingkungan
dataran banjir di kedua sisinya, sedangkan fauna Tanjung 63-64 merepresentasikan
lingkungan hutan terbuka. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan pendapat
Belwood (2000) yang menempatkan hominid Sangiran dalam lingkungan mosaik.
Perubahan iklim yang cukup signifikan memungkinkan migrasi mamalia ke pulau Jawa, khusus Sangiran. Pada saat itu, ada
cukup ruang terbuka yang memiliki sumber air untuk mendukung kehidupan mamalia
dan Homo erectus.
Meskipun data paleontologi Patiayam telah mulai
dieksplorasi sejak lama, namun di situs ini belum dilakukan penelitian intensif
seperti di Sangiran. Menurut van Es (1931) di Patiayam, ditemukan sembilan
jenis sisa fosil vertebrata, kemudian pada tahun 1978 Sartono dkk. dalam
penelitiannya melengkapi temuan Van Es dengan menemukan 17 spesies vertebrata
serta ditemukannya sisa manusia Homo erectus. Berdasarkan
hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh Siswanto (2007), dapat diketahui
bahwa persebaran fosil-fosil fauna vertebrata Patiayam ditemukan pada lokasi
yang cukup luas di situs tersebut. Temuan fosil-fosil fauna vertebrata meliputi
jenis-jenis fosil banteng, kerbau dari keluarga Bovidae, fosil rusa dari keluarga Cervidae, fosil gajah dari keluarga Stegodonidae, fosil keluarga Cheloniidae yang semuanya berumur Ptestosen Tengah.
Fosil-fosil tersebut dapat menunjukkan tingkungan purba (paleoenvironment) daerah penelitian sebagai lokasi
binatang-binatang vertebrata tersebut hidup pada masa lampau, seperti hutan
terbuka (open wood forest), hutan hujan tropis (tropical rain
forest), dan lingkungan air tawar
seperti sungai, rawa, dan danau.
Penelitian paleontologi vertebrata terhadap
fosil dari Patiayam yang ditemukan maupun koleksi peneliti sebelumnya yang ada
di Laboratorium Paleontologi menunjukkan kesamaan dengan fauna yang ditemukan
di daerah lainnya di Jawa. Berdasarkan sifat-sifatnya, fosil vertebrata hasil
penelitian tersebut dapat dikelompokkan dalam habitatnya yaitu:
- Fauna, yang hidup dihutan lebat dan basah (rain forest) seperti Stegon trigonocephalus, Elephas sp., Rhinoceros sondaicus dan Sus brachygnatus.
- Fauna yang bias hidup dalam lingkungan air, seperti Hippopotamus namadicus dan Cheloniidae.
- Fauna yang biasa hidup pada daerah berhutan terbuka (open wood forest) atau savana, seperti Bos bubalus paleokarabau vK. dan Cervus zwaani dll.
B. Paleoantropologi
Di antara situs-situs Plestosen di Kepulauan
Nusantara, Pulau Jawa merupakan satu-satunya tempat penemuan fosil manusia
purba di Indonesia. Sejak penemuannya yang pertamakali di Trinil tahun 1891, hingga penemuan
fragmen cranial manusia bagian belakang sebelah kiri pada endapan grenzbank di
Glagahombo tahun 2005, tercatat telah lebih dari 110 individu manusia purba
dihasilkan oleh berbagai endapan purba di seluruh penjuru Pulau Jawa (Widianto,
2006). Tidak diragukan lagi, lokasi penyumbang terbesar koleksi tersebut adalah
Sangiran dan bahkan hingga tahun 2009 di lokasi ini telah ditemukan lebih dari
100 individu manusia purba yang juga berarti mewakili lebih dari 50 % populasi
temuan Homo erectus di dunia (Widianto, 2009). Potensi tersebut
menjadikan Sangiran sebagai lokasi penemuan fosil Homo erectus yang paling signifikan di muka bumi.
Widianto (1993) telah melakukan studi
perbandingan karakter morfologi dan biometric serta relevansinya dengan data
stratigrafis, mencakup seluruh koleksi tengkorak Homo erectus dari Jawa yang pernah ditemukan hingga tahun
1998 menyimpulkan bahwa terdapat tiga tahapan evolusi Homo erectus di Jawa dari yang paling arkaik hingga progresif
yaitu kelompok kekar (Homo erectus archaic), kelompok Trinil-Sangiran (Homo erectus typical) dan kelompok Ngandong (Homo erectus
progressif). Kelompok kekar berasal
dari Formasi Pucangan yang berumur Plestosen Bawah sekitar 1,5-1 Juta tahun,
kelompok Trinil-Sangiran berasal dari Formasi Kabuh bawah dan tengah berumur
Plestosen Tengah rentang 0,9-0,3 Juta tahun, sedangkan kelompok Ngandong
berasal dari Ngandong, Sambungmacan dan Ngawi berumur antara 0,2-0,1 Juta tahun
(Widianto, 1993 dan 2007).
Bukti paleoantropologis dari Situs Patiayam
adalah sebuah premolar dan tiga fragmen atap tengkorak Homo erectus yang ditemukan oleh S. Sartono dan Y. Zaim pada
tahun 1979. Fosil tersebut ditemukan pada seri stratigrafi yang terdiri atas
endapan laut di bagian bawah, dan endapan kontinental yang merupakan hasil
aktivitas Gunung Muria, di bagian atas. Di atas salah satu bukitnya, Gunung
Slumprit, terdapat endapan volkano-sedimenter berupa konkresi breksi volkanik
yang diikuti oleh pengendapan puluhan meter pasir dan lempung tufaan, yang
berkaitan dengan pusat erupsi Patiayam dan Gunung Muria. Fosil-fosil manusia
tersebut ditemukan di tengah-tengah fosil mamalia dan reptil dari pasir dan
lempung tufaan, yang melalui metode pertanggalan Potassium-Argon, menunjukkan
usia 0.85±0.02 juta tahun. Ciri stratigrafi tersebut memungkinkan untuk
membandingkan temuan dari Patiayam dengan Formasi Kabuh di Situs Sangiran
(Widianto, 1993).
C. Jejak Budaya
Pembahasan mengenai artefak paleolitik di
Indonesia tidak dapat terlepas dari Teori Movius mengenai persebaran alat-alat
paleolitik, yang memisahkan “Hand-Axe Culture” yang tersebar di Afrika, Eropa barat daya, dan Semenanjung India
dengan “Chopper-Chopping
Tools Culture” di Asia Timur termasuk
Indonesia, oleh sebuah garis imajiner yang disebut dengan “Movius Line”. Menurut teori ini, di barat berkembang
teknologi Acheulian yang didominasi dengan kapak genggam (hand-axe) dan kapak pembelah (cleaver), sedangkan di timur berkembang teknologi yang
didominasi oleh kapak perimbas (chopper) dan kapak penetak (chopping) (Soejono dan Leirissa, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian terbaru dapat
diketahui bahwa di kawasan yang diidentifikasi sebagai Chopper-Chopping
Tools Culture, ditemukan alat batu
dengan teknologi Acheulian seperti misalnya Baksoka, Koboran, Ngebung, dan
Sumatera Selatan di Indonesia, Lembah Yujian di China, serta Arubo, Mindanao,
dan Cagayan de Oro di Filipina (Gaillard, dkk., 1997). Begitu pula sebaliknya,
di kawasan yang diidentifikasi sebagai Hand-Axe Culture, ditemukan alat batu dengan teknologi Chopper-Chopping
Tools Culture yaitu Maharastra (India),
Thuringen (Jerman), Verteszollos (Hungaria) serta Arago (Prancis) (Soejono,
2001). Artefak-artefak yang ditemukan tersebar di penjuru dunia tersebut
merupakan jejak migrasi-kolonisasi manusia ke luar dari Afrika.
Pada penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta tahun 2010
di Situs Patiayam ditemukan sebuah artefak di dekat jembatan Sungai Kancilan
menuju Dusun Ngrangit Lama, Desa Terban. Jenis artefak litik dari Situs
Patiayam ini termasuk dalam tipologi kapak genggam (Hand Axe) yang merupakan alat pemotong massif dan terbuat dari sebuah serpih
besar. Karakter utama kapak genggam adalah bentuk yang simetris bilateral
dengan kedua tajaman yang dibentuk dengan pemangkasan dua sisi. Penemuan
artefak batu dari Situs Patiayam bukan merupakan yang pertama kali, karena pada
penelitian sebelumnya, yaitu pada tahun 2007 pernah ditemukan lima buah alat
batu dari bahan gamping kersikan yang terdiri dari 2 buah serut, 1 kapak
(gigantolith), dan 2 buah serpih. Selain itu, pada penelitian tahun 2008 juga
ditemukan kapak pembelah dari bahan batuan basalt.
Gigantolith dan Kapak Genggam dari Endapan Teras
Sungai Kancilan, Patiayam
Kapak genggam Patiayam merupakan temuan
permukaan di sekitar Sungai Kancilan yang mengalir di Situs Patiayam. Sampai
saat ini belum dilakukan penelitian secara mendalam yang dapat melacak posisi
litologi asli penghasil artefak tersebut, sehingga rekonstruksi dimensi
kronologi kapak genggam ini masih bersifat hipotesis. Berdasarkan referensi
peta geologi dapat diketahui bahwa litologi lokasi penemuan artefak tersebut
merupakan batuan breksi andesit Formasi Kancilan yang berumur Pleistosen Awal.
Hipotesis temporal tersebut terasa sangat tua
mengingat alat-alat massif berupa claver (kapak pembelah) Acheulian, pebble, polyhedral, bola, chopper dan chopping yang
terbuat dari batu andesit ditemukan di lokasi Ngebung II, Kubah Sangiran
berasal dari endapan sungai Formasi Kabuh yang diokupasi oleh Homo erectus, berasal dari Kala Awal Plestosen Tengah,
800.000 BP (Simanjuntak, 2001). Di lain pihak artefak tertua dari Situs
Sangiran merupakan alat-alat serpih Dayu, yang berasal dari endapan alluvial
pasir-krikilan Formasi Pucangan akhir Kala Pleistosen Awal, berumur 1,2 Juta
tahun yang lalu (Widianto dan Simanjuntak, 2009).
Ada kemungkinan lain bahwa kapak genggam Situs
Patiayam tertransportasi dari lokasi di sekitar penemuannya dengan litologi
batuan tuffa Formasi Kedungmojo, berumur Plestosen Tengah antara 700-300 Ribu
tahun yang lalu. Jika dibandingkan dengan kronologi temuan alat massif dari
Sangiran, hipotesis pertanggalan relatif ini lebih memungkinkan untuk diterima.
Selain itu, juga dapat diperkirakan bahwa Homo erectus merupakan aktor pembuat artefak-artefak Situs
Patiayam. Namun demikian, beberapa kemungkinan hipotesis ini harus tetap harus diuji dengan penelitian spesifik yang lebih
mendalam pada masa yang akan datang, khususnya berkaitan dengan aspek
kronologi.
Berdasarkan beberapa penemuan artefak litik yang
dihasilkan dari penelitian terakhir oleh Balai Arkeologi Yogyakarta dapat
diketahui bahwa Situs Patiayam merupakan salah situs penting dalam konteks
dunia. Hal tersebut semakin menguatkan posisi Situs Patiayam sebagai salah satu
bagian penting dalam rangkaian situs-situs Plestosen di Jawa, bahkan juga
berkaitan dengan topik internasional mengenai migrasi-kolonisasi manusia purba
di seluruh muka bumi, yaitu model “Out of Africa”, Mode 2 (Acheulian). Diharapkan penelitian Situs Patiayam di masa
yang akan datang dapat memberikan kontribusi dan perspektif baru bagi wacana
tersebut.
D. Tafonomi
Keunggulan Situs Sangiran dengan kekayaan
deposit depositnya di satu sisi, ternyata juga memiliki kelemahan di sisi yang
lain menyangkut kondisi situs yang telah mengalami deformasi melalui proses
sedimentasi. Lapisan tanah yang mengandung temuan bukan merupakan lapisan tanah
asli, tetapi telah mengalami proses pengendapan ulang (reworking), sehingga sifat tinggalan pada saat ditemukan
merupakan allochtonous find bukan merupakan autochtonous find yang telah berpindah dari lokasi tempat
pengendapan asli (Simanjuntak, 2005). Di Sangiran tidak pernah ditemukan
lapisan yang dahulu menjadi permukaan tanah asli tempat Homo erectus hidup, sebagaimana yang terdapat di Afrika dan
Eurasia bagian barat. Sangat disayangkan bahwa sisa hominid dari Sangiran
ditemukan dalam endapan sekunder, sehingga tidak memiliki konteks kultural
secara langsung. Alat-alat batu yang mungkin pernah digunakan oleh Homo erectus tidak pernah ditemukan bersama-sama fosil
manusia purba (Bellwood, 2000).
Berdasarkan penelitian baru-baru ini oleh
Puslitbang Arkenas pada tahun 2005 di Dayu, dapat diketahui bahwa 4 meter di
bawah lapisan grenzbank dan lempung Pucangan terdapat lapisan fluvio-volkanic jejak sungai purba yang mengalir pada lanskap
rawa payau dan hutan bakau pada sekitar 1,2 Juta tahun yang lalu. Pada lapisan
tersebut telah ditemukan lebih dari 200 artefak berupa alat-alat serpih bagian
dari sangiran flakes
industry yang diperkirakan merupakan
produk dari Homo erectus arkaik. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa
sebagian besar artefak tersebut telah mengalami pembundaran dengan tingkat
keausan menengah, dan hanya sebagian kecil artefak saja yang tergolong segar
tidak memperlihatkan keausan berarti. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar kumpulan
artefak tersebut telah mengalami proses transportasi yang cukup panjang, atau
dalam arti berasal dari luar situs (Widianto dkk, 2005). Hasil penelitian ini
menambah daftar panjang sulitnya untuk menemukan artefak yang memiliki konteks
budaya secara langsung dengan Homo erectus di
Situs Sangiran.
Ekskavasi TP 1 2007 dan Hasil Ekskavasi TP 2
2008 di Situs Patiayam
Proses tafonomi yang berbeda dengan kubah
Sangiran terjadi di Patiayam. Berdasarkan hasil ekakavasi Balai Arkeologi
Yogyakarta sejak tahun 2007 – 2010, telah dihasilkan tiga individu fosil fauna
yang masih relatif berada dalam suatu konteks kesatuan anatomis di dalam
masing-masing sebuah kotak ekskavasi. TP 1 tahun 2007 di Bukit Slumprit
menghasilkan fosil fauna Elephantide Sp,
TP 2 tahun 2008 di Bukit Senthong menghasilkan fosil Stegodon Trigonocephalus,
sedangkan TP 3 tahun 2010 di Bukit Slumprit menghasilkan fosil fauna Bovidae yang keseluruhan temuannya masih relatif
lengkap. Dari perspektif aspek tafonomi, melihat keletakan fosil-fosil yeng
cenderung berada dalam satu lapisan litologi mengindikasikan bahwa proses
pengendapan data arkeologi terjadi dalam suatu pengendapan primer (primary deposition). Diperkirakan bahwa fauna-fauna tersebut hidup
kemudian mati sejaman dengan lapisan litologi yang mengendapkannya, dan lokasi
pengendapan merupakan lokasi terbentuknya data arkeologi pertama kali (matinya
hewan). Berdasarkan hal tersebut, maka prospek penelitian di masa yang akan
datang pada Situs Patiayam memungkinkan untuk dapat menemukan fosil hewan atau
manusia yang cukup lengkap secara anatomis, beserta peralatan batu hasil
karyanya dalam satu kesatuan konteks.
PENUTUP
Berdasarkan pada membandingkan karakter Situs
Sangiran dan Patiayam tersebut maka dapat diketahui peluang yang signifikan
bagi penelitian di masa yang akan datang khususnya bagi perkembangan penelitian
di Situs patiayam. Berdasarkan sudut pandang paleontology, belum banyak
diketahui evolusi perkembangan lingkungan purba Patiayam. Selain itu, sampai
saat ini belum diketahui data flora maupun palinologi sebagai indikator untuk
memahami lingkungan purba Situs Patiayam.
Temuan fosil manusia dari Situs Patiayam juga
masih terbatas pada beberapa fragmen atap tengkorak dan molar hasil penelitian
S. Sartono pada tahun 1979. Hal ini menyisakan pertanyaan besar, apakah Pulau
Patiayam benar-benar pernah dihuni secara signifikan oleh Homo erectus. Namun,
kemajuan penelitian akhir-akhir ini yang menghasilkan beberapa artefak litik
dari Situs Patiayam membuka peluang untuk memberikan kontribusi jawaban atas
pertanyaan tersebut. Sayangnya temuan beberapa artefak penting tersebut hanya
dihasilkan melalui survey permukaan pada endapan teras, bukan berasal dari
ekskavasi yang sistematis sehingga tidak diketahui secara pasti konteks
litologi dan kronologinya.
Diharapkan pada masa yang akan datang dilakukan
penelitian yang lebih sistematis terhadap Situs Patiayam, apalagi kondisi
tafonomi situs ini memungkinkan untuk ditemukannya sisa flora dan fauna serta
jejak manusia dalam satu kesatuan konteks. Akhirnya, kajian perbandingan antara
Sangiran dengan Patiayam di masa depan, dapat digunakan untuk memahami strategi
adaptasi dan pola subsistensi manusia purba di lingkungan daratan dan
kepulauan.
DAFTAR PUSTAKA
Bellwood, Peter. 1975. Man’s Conquest of
the Pacific, Auckland: Collins
Publisher.
__________. 2000. Prasejarah Kepulauan
Indo-Malaysia, edisi revisi, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Bouteaux, Anne. 2005. “Paléontologie,
paléoécologie et taphonomie des mammifères du Pléistocène moyen ancien du site
à hominidés de Sangiran (Java central, Indonésie)”, Dissertasi Doctoral,
Paris: MNHN
Gaillard, Claire. 2007. François Sémah, dan
Truman Simanjuntak, “An Achaeulian Tradition in the Archipelagoes?”, dalam First Islander
Soejono, R.P. 2001. “Remark on the Development
and Problems of the Paleolithic in Indonesia”, dalam Truman Simanjuntak, dkk.
ed., Sangiran: Man,
Culture, and Environment in Pleistocene Times, pp. 143-153. Jakarta: YOI
Soejono, R.P. dan R.Z. Leirissa. 2008. Sejarah Nasional
Indonesia I, Balai Pustaka: Jakarta
Simanjuntak, Truman. 2001. “New Insight on the
Tools of the Pithecanthropus”, dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed., Sangiran: Man,
Culture, and Environment in Pleistocene Times, pp. 154-170. Jakarta: YOI
__________. 2005. “Sangiran dalam Perspektif
Penelitian”, Jurnal Arkeologi
Indonesia, No. 3 September,
pp. 13-24. Jakarta: IAAI
Siswanto. 2007. ”Komponen Lingkungan Pendukung
Kehidupan Manusia Kala Plestosen di Situs Patiayam, Kudus”, Berita Penelitian
Arkeologi No. 22, pp. 8-15, Yogyakarta:
Balai Arkeologi
van den Bergh, Gert D., John de Vos, Paul Y.
Sondaar. 2001. “The Late Quaternary Paleogeography of Mammal Evolution in the
Indonesian Archipelago”, Paleogeography, Paleoclimatology, Paleoecology, 171, Elsevier Science
van Es, L.J.C. 1931. The Age of Pithecanthropus, Den Haag: Martinus Nijhoff ed.
Widianto, Harry. 1993. “Unité et diversité des
hominidés fossiles de Java : Présentation de Restes Humains Fossiles Inédits”, Dissertasi
Doctoral, Paris: MNHN
__________. 2001. “The Perspectives on the
Evolution of Javanese Homo erectus Based on Morphological and Stratigraphic
Characteristic”, dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed., Sangiran: Man,
Culture, and Environment in Pleistocene Times, pp. 24-45. Jakarta: YOI
__________. 2006. “Dari Pithecanthropus ke Homo erectus :
Situs, Stratigrafi dan Pertanggalan Temuan Fosil Manusia di Indonesia”, Berkala Arkeologi
Tahun XXVI Edisi No. 2 / November, pp. 114-129, Yogyakarta: Balai Arkeologi
Widianto, Harry, Retno Handini dan Bagyo
Prasetyo. 2005. “Formasi Pucangan di Dayu Refleksi Kehidupan Homo Erectus
Arkaik dari Kala Plestosen Bawah”, Laporan Penelitian Arkeologi, Jakarta: Puslitbang Arkenas
Widianto, Harry dan Truman Simanjuntak. 2009. Sangiran Menjawab Dunia, Sangiran: BPSMP
No comments:
Post a Comment