Wednesday, April 17, 2013

Patiayam : Situs Purbakala

Situs Istimewa di Gunung Muria ( KUDUS Jawa Tengah )

Di Gunung Pati Ayam ini banyak ditemukan benda-benda purbakala yang berumur jutaan tahun.
Patiayam adalah Situs purba di Pegunungan Patiayam, Dukuh Patiayam, Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus. Sekitar 1.500 fosil ditemukan di Patiayam dan kini disimpan di rumah-rumah penduduk. Sebagian gading gajah ditempatkan di Museum Ronggowarsito Semarang.




Geologi Patiayam
Situs Patiayam merupakan bagian dari Gunung Muria. Luasnya 2.902,2 hektar meliputi wilayah Kudus dan beberapa kecamatan di Pati. Di gunung ini terdapat makam dan Masjid Sunan Muria, air terjun, motel, penginapan, sejumlah villa, dan warung makan. Jaraknya hanya 18 kilometer dari kota Kudus.
Situs purba Patiayam memiliki persamaan dengan situs purba Sangiran, Trinil, Mojokerto, dan Nganjuk. Keunggulan komparatif situs Patiayam adalah fosilnya yang utuh dikarenakan peimbunan adalah abu vulkanik halus dan pembentukan fosil berlangsung baik. Di sekitarannya tidak terdapat sungai besar sehingga fosil ini tidak pindah lokasi karena erosi. Keadaan ini berbeda dengan situs purbakala lainnya dimana fosil ditemukan pada endapan sungai.
Situs Patiayam merupakan salah satu situs terlengkap. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya manusia purba (Homo erectus), fauna vertebrata dan fauna invertabrata. Ada juga alat-alat batu manusia dari hasil budaya manusia purba yang ditemukan dalam satu aeri pelapisan tanah yang tidak terputus sejak minimal satu juta tahun yang lalu.
Secara morfologi situs Patiayam  merupakan sebuah kubah (dome) dengan ketinggian puncak tertingginya (Bukit Patiayam) 350 meter di atas muka laut. Di daerah Patiayam ini terdapat batuan dari zaman Plestosen yang mengandung fosil vertebrata dan manusia purba yang terendap dalam lingkungan sungai dan rawa-rawa.
Sejak 22 September 2005 situs Patiayam ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. Sebelumnya situs ini sudah lama dikenal sebagai salah satu situs manusia purba (hominid) di Indonesia. Sejumlah fosil binatang purba ditemukan penduduk setempat seperti kerbau, gajah, dan tulang lain. Fosil gading gajah purba Stegodon trigonocephalus merupakan primadona Patiayam.
Rangkaian penelitian telah dilakukan di situs ini, mulai dari tahun 1931 saat peneliti asal Belanda Van Es menemukan sembilan  jenis fosil hewan vertebrata. Berikutnya hingga tahun 2007 berbagai penelitian dilakukan dan ditemukan 17 spesies  hewan vertebrata dan tulang belulang binatang purba antara lain : Stegodon trigonochepalus (gajah purba), Elephas sp (sejenis Gajah), Rhinocecos sondaicus (badak), Bos banteng (sejenis banteng), Crocodilus, sp (buaya), Ceruus zwaani dan Cervus atau Ydekkeri martim (sejenis Rusa) Corvidae (Rusa), Chelonidae (Kura-Kura), Suidae (Babi Hutan), Tridacna (Kerang laut), Hipopotamidae (Kudanil). Temuan fosil-fosil di Patiayam memiliki keistimewaan daripada fosil temuan di daerah lain karenakan sebagian situs yang ditemukan bersifat utuh.
Dari waktu ke waktu, makin banyak fosil purba ditemukan di situs ini, sehingga perlu dibangun museum khusus sebagai tempat penampungan fosil-fosil temuan. Museum Fosil Patiayam masih sangat sederhana, lokasinya di Desa Terban, Jekulo, Kudus, tidak jauh dari Dome Patiayam. Hingga sekarang terkumpul tidak kurang dari 1.3000 fosil purba berusia antara 700.000 sampai 1 juta tahun.
Selama ini Pemkab Kabupaten Kudus terus menyelamatkan dan melesarikan Situs Patiayam yang merupakan situs Prasejarah ikon masa depan dan bekerja sama dengan Balai Arkeologi Yogyakarta untuk penelitian dan ekskavasi.
Situs Patiyam merupakan tempat  untuk melakukan perjalanan kembali ke masa prasejarah. Banyak hal yang bisa Anda pelajari di situs ini, antara lain tentang kehidupan di masa lalu dan tentang misteri evolusi makhluk hidup yang sangat menarik untuk diungkap.

fosil gading gajah purba di museum Patiayam


Anda dapat melihat dua fosil gading gajah sepanjang 2,5 meter berdiameter 15 sentimeter. Ada juga dua fosil kerang raksasa yang masih lengkap selebar 30 sentimeter yang berumur 700.000 hingga 1 juta tahun. Ada juga berbagai macam alat-alat batu manusia purba seperti serut, kapak perimbas (chopper) dan gigantolith. pastilah gajah raksasa, aku langsung terbayang seekor mamoth di film iceage yang sangat besar, tapi ternyata beda, gajah ini bernama Stegodon dan yang ditemukan di tempat ini memiliki nama latin selengkapnya adalah Stegodon trigonocephalus.

Stratigrafi Patiayam
Di situs Patiayam ada 4 formasi lapisan di kawasan yang begitu luas. Keempat formasi tersebut adalah Formasi Jambe, Formasi Kancilan, Formasi Slumprit, dan Formasi Suko Bubuk.
Di Formasi Jambe batuan yang menyusun lapisan adalah batuan lempung, terbentuk saat dahulu Muria dan Pulau Jawa terpisah, yaitu ketika zaman Meosin Akhir terbentuk. Ini terbukti dengan ditemukannya sumur yang airnya asin di sekitar daerah Patiayam salah satunya di daerah Gondoharum. Formasi Kancilan merupakan komposisi lempung kemudian terbentuk akibat adanya pengangkatan daratan pada masa plestosen dan aktivitas gunung Muria. Batuan yang ada pada masa itu merupakan campuran dari batuan lempung dan breksi. Keadaan ini terjadi hingga akhir masa Plestosen. Formasi Slumprit terbentuk sekitar 1,5 juta tahun yang lalu. Di situs ini banyak ditemukan fosil vertebrata dan molusca air tawar. Fosil vertebrata yang ditemukan adalah gajah, rusa, ikan, dan kadal. Sementara  Formasi Suko Bubuk merupakan pusat penemuan jejak-jejak masa lampau di kawasan situs. Hal inilah yang membuat situs ini kaya akan segala macam jenis fosil.
Situs Patiayam juga memiliki nilai-nilai penting karena merupakan salah satu dari sedikit situs manusia purba di Indonesia. Situs Patiayam mampu memberikan gambaran mengenai evolusi lingkungan purba tanpa terputus selama dua juta tahun terakhir.

Situs Istimewa “Patiayam”, Antara Vulkanisme dan Sejarah
Patiayam adalah Situs purba di Pegunungan Patiayam, Dukuh Patiayam, Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus. Sekitar 1.500 fosil ditemukan di Patiayam dan kini disimpan di rumah-rumah penduduk. Sebagian gading gajah ditempatkan di Museum Ronggowarsito Semarang. Situs Patiayam merupakan bagian dari Gunung Muria. Luasnya 2.902,2 hektar meliputi wilayah Kudus dan beberapa kecamatan di Pati.
Situs Patiayam ini merupakan situs istimewa dimana fosil fosil kehidupan purba di temukan di daerah ini.  dan tentunya inilah salah satu situs purba yang menarik selain situs sangiran.


Geologi Patiayam
Kompleks perbukitan ini terdiri atas beberapa bukit kecil dengan ketinggian 200 hingga 350 m di atas permukaan laut (dpl). Para peneliti terdahulu, seperti Sartono dkk. (1978), Zaim (1989, 2006), dan Suwarti dan Wikarno (1992) menyebutnya sebagai kubah (dome). Puncak tertinggi kompleks Gunung Patiayam terletak di Bukit Payaman pada ketinggian 350 m dpl. Menurut mereka, kubah tersebut terbentuk pada Plistosen (0,5 – 0,9 juta tahun lalu) (jtl.). Zaim (1989) menyebutkan bahwa kegiatan gunung api juga pernah berlangsung di kompleks Gunung Patiayam, yaitu pada 2 – 0,5 jtl., bersamaan dengan kegiatan vulkanisme Gunung Muria. Jadi, pembentukan kubah Patiayam berada pada kisaran waktu dengan kegiatan vulkanisme di kompleks perbukitan ini.
Batuan Penyusun Gunung Patiayam tersusun oleh batuan beku lava dan intrusi basal piroksen yang kaya akan mineral leusit, breksi gunung api (piroklastika dan lahar), batupasir tuf dan breksi batuapung (endapan piroklastika), napal dan batugamping, serta lempung hitam endapan rawa. Batuan gunung api tersebut mendominasi daerah patiayam dengan sebaran lebih dari 80%

menurut  S. Mulyaningsih, dkk (2008), batuan gunung api yang menyusun daerah Gunung Patiayam antara lain adalah : 
  1. Di lereng timur Gunung Patiayam djumpai singkapan lapisan lempung argiliseus. Lempung argilaseus tersebut diinterpretasikan dibentuk oleh larutan hidro-termal akibat aktivitas magmatisme yang menyentuh tubuh air tanah sehingga lapisan dengan air tanah tersebut teralterasi
  2. Diatas Lempung argilaseus secara stratigrafis tersingkap lava, yang ditunjukkan oleh hadirnya bongkah-bongkah lava berukuran 0,5 – 3m di permukaan. Tubuh lava tersebut makin ke bawah makin masif.
  3. ke arah barat daya dari lokasi bongkah lava tersingkap batuan intrusi gang, yang juga tersusun oleh basal piroksen kaya leusit. Tubuh batuan intrusi ini di permukaan dicirikan oleh morfologi yang melingkar di puncak bukit, dengan posisi yang lebih tinggi dari wilayah di sekitarnya.
  4. Di lereng barat – barat daya, sekitar 200 – 500 m dari lokasi breksi autoklastika pada lembah Sungai Pontang, tersingkap perlapisan breksi piroklastika dan breksi lapili dengan matriks tuf.
  5. Ke arah hulu Sungai Pontang, sekitar 50 m ke barat – barat laut, breksi piroklastika secara tidak selaras ditindih oleh batugamping (napal) dengan fosil moluska asal laut
  6. Pada fasies yang lebih jauh, yaitu di daerah Jengglong, sisi timur daerah pengamatan patiayam, ter-singkap batuan epiklastika berupa batupasir yang mengandung tuf, batupasir dengan sedikit fragmen pumis dan skoria berukuran kerikil, konglomerat dan breksi epiklastika (lahar)
  7. Makin ke arah barat, komposisi endapan epiklastika makin berkurang dan berganti dengan tuf dan breksi pumis yang diinterpretasikan sebagai batuan piroklastika. Ke arah barat laut, komposisi litologi didominasi oleh perlapisan breksi pumis dan tuf, yang makin ke arah hulu breksi pumis makin dominan
  8. Batuan yang tersingkap di bagian utara (dae-rah Sukobubuk dan sekitarnya) tersusun oleh endapan pasir lepas  dan konglomerat/breksi dengan fragmen litik andesit piroksen dan basal dengan bentuk butir membundar

Aktivitas Vulkanisme Gunung Patiayam
Aktivitas vulkanisme wilayah ini sebenarnya tidak terlepas dari proses tektonik yang terlebih dahulu terjadi, menurut S. Mulyaningsih dkk (Jurnal Geologi Indonesia, 2008), bahwa proses tektonik memang pernah terjadi di wilayah ini yang membentuk rekahan. Akibat adanya rekahan tersebut, magma muncul ke permukaan melalui rekahan dan membangun kerucut (tubuh) gunung api. Proses pemunculan magma yang berlangsung secara berulang-ulang memanaskan batuan yang dilaluinya. Karena batuan tersebut mengandung air, maka terjadi penguapan dan pelarutan menghasilkan larutan hidrotermal, membentuk lempung argilaseus.
Interpretasi kegiatan vulkanisme tersebut juga didukung oleh asosiasi intrusi andesit basaltik de-ngan lava basal leusit dan breksi autoklastika yang berselingan dengan breksi piroklastika berdensitas dan breksi pumis. Semua batuan tersebut dihasilkan oleh aktivitas gunung api. Meskipun lava dapat terangkut, namun transportasinya tidak akan dapat menjangkau cukup jauh.
Pertumbuhan kerucut gunung api juga pernah berlangsung menghasilkan breksi piroklastika, lava, dan breksi autoklastika. Breksi piroklastika dan lava yang menumpang di atas breksi pumis dan tuf mengindikasikan bahwa setelah penghancuran kawah gunung api, terjadi pertumbuhan kerucut gunung api. Selama aktivitasnya, telah berlangsung empat kali pertumbuhan kerucut gunung api dan empat kali penghancuran kerucutnya. Urutannya adalah pertumbuhan kerucut gunung api, penghancuran pertama menghasilkan Rim 1, pertumbuhan dan penghancuran menghasilkan Rim 2, pertumbuhan dan penghancuran menghasilkan Rim 3, pembentukan dan penghancuran menghasilkan Rim 4 dan erosi.
Meskipun secara komposisi batuan gunung api Patiayam sama dengan batuan gunung api di Lasem, yaitu absarokit (sangat kaya kalium), sosonit, tefrit
ultrapotasik, dan trakiandesit alkalin potasik (Zaim, 1989), namun batuan tersebut tidak mungkin dihasilkan oleh kegiatan vulkanisme Gunung Lasem, mengingat jaraknya yang terlalu jauh, yaitu sekitar 60 km. Gunung Muria sendiri memiliki umur yang jauh lebih muda, yaitu 0,7 – 0,01 jt. Jadi, batuan Gunung Api Patiayam juga tidak mungkin berasal dari kegiatan Gunung Muria, di samping karena jaraknya yang sangat jauh, yaitu sekitar 30 km, juga umurnya yang terlalu tua.
Data kegiatan gunung api masa kini menunjukkan bahwa aliran lava tidak akan mampu menjangkau lebih dari 5 km dari pusat erupsi; aliran piroklastika berdensitas tidak akan mampu menjangkau lebih dari 20 km dan abu serta pumis dapat tertransportasi lebih jauh bergantung pada arah angin.

Sejarah Arkeologi Gunung Patiayam
Padahal, pada tahun 1979, Dr Yahdi Yaim dari Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB), telah menemukan sebuah gigi pra-geraham bawah dan tujuh pecahan tengkorak manusia. Lalu ditemukan pula sejumlah tulang belulang binatang purba, seperti Stegodon trigono chepalus (sejenis gajah purba), Elephas sp (juga jenis gajah), Cervus zwaani dan Cervus lydekkeri Martin (sejenis rusa), Rhinoceros sondaicus (badak), Sus brachygnatus Dubris (babi), Felis sp (macan), Bos bubalus palaeoharabau (kerbau), Bos banteng paleosondicus (banteng), dan Crocodilus sp (buaya). Semua itu ditemukan dalam lapisan batu pasir tufoan (Tuffaceous sandstones).
Menurut Prof Dr Sartono dan kawan-kawan, temuan tersebut merupakan jenis litologi dari formasi Slumprit (bagian dari Bukit Patiayam) yang terbentuk pada Kala Plestosan Bawah. Atas dasar itulah, umur fosil yang ditemukan Yahdi antara 1 juta hingga 700.000 tahun lalu. Menurut catatan Kompas, April 1981, Tim Pusat Penelitian dan Penggalian Benda Purbakala Yogyakarta menemukan dua gading gajah purba berukuran panjang 2,5 meter dan berdiameter 15 sentimeter di Bukit Patiayam, wilayah Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati. Fosil ini diperkirakan berumur 800.000 tahun. Selain itu, tim juga menemukan fosil kepala dan tanduk kerbau, dua gigi babi, banteng, kambing, rusa, badak, buaya, dan kura-kura. Dengan ditemukannya fosil-fosil itu, tim peneliti menyimpulkan Bukit Patiayam semula merupakan sebuah sungai dengan lebar 50 meter hingga 200 meter, sedikit rawa dan padang rumput (Kompas, 6 April 1981).Setahun kemudian, tepatnya akhir November 1982, Sukarmin menemukan dua gading gajah di Gunung Nangka (bagian dari Bukit Patiayam), Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus.
Gading pertama berukuran panjang 3,17 meter dan gading kedua berukuran panjang 1,44 meter. Kedua gading gajah ini sekarang tersimpan di museum Ronggowarsito Semarang. Pada kurun waktu yang sama, Kepala Seksi Kebudayaan Dinas Pendidikan Kabupaten Kudus Soetikno juga menemukan fosil gading gajah di petak 22 Gunung Slumprit (juga bagian dari Bukit Patiayam).
Menurut tim peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta yang dipimpin Harry Widianto dengan anggota Muhammad Hidayat dan Baskoro Daru Tjahjono yang melakukan penelitian di Situs Patiayam, 16-17 November 2005, situs ini sudah dikenal sejak lama sebagai situs hominid (manusia purba) di Indonesia. Situs hominid lainnya adalah Sangiran, Trinil, Kedungbrubus, Perning Mojokerto, Ngandong, dan Ngawi.

Reference :
S. Mulyaningsih, Bronto, Sutikno, dkk.2008. Vulkanisme kompleks Gunung Patiayam di Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah. Badan Geologi: Jurnal Geologi Indonesia
http://lestarisituspatiayam.blogspot.com

No comments:

Post a Comment